“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata"
(QS. Al Fath : 1)
Kemenangan merupakan cita-cita luhur, mulia dan senantiasa didambakan oleh umat muslim di seluruh dunia. Banyak orang yang bertanya, kapan kemenangan itu akan datang? Jawaban paling tepat adalah ketika umat ini sudah pantas untuk menang.
Pantas, itulah idealitas sekaligus konsekuensi logis dari sebuah cita-cita mulia peradaban. Pilar Peradaban yang terdiri dari khazanah manusia dan sistem tatanan kehidupan haruslah memiliki standar kepantasan yang kokoh untuk menyokong bangunan peradaban tersebut.
Mari kita mencoba refleksi 14 Abad yang lalu di dunia Arab, dimana Rasulullah SAW mampu mengubah peradaban jahiliah menjadi peradaban Islam. Adapaun faktor penentu keberhasilan Rasulullah tersebut bukan semata-mata hanya karena satu orang Rasul saja, akan tetapi berasal dari pesona dan kualitas manusia di zaman rasul tersebut serta sistem tatanan kehidupan yang sudah jelas hakikat kebenarannya. Dua pilar tersebut yang membangun peradaban Islam dan menggantikan peradaban jahiliyah.
Indonesia, Negara yang memiliki kuantitas muslim terbanyak seharusnya memiliki tuntutan untuk mampu menjadi kontributor peradaban dunia. Bahkan boleh jadi, bukan hanya menjadi kontributor semata tetapi juga diharapkan bisa menjadi “centre of civilization“ atau pusat peradaban.
Akan tetapi, menilik kondisi bangsa kita saat ini kita akan kembali mempertanyakan, apakah Indonesia mampu untuk menyumbang peradaban tersebut? Di Indonesia, dua pilar yang diharapkan mampu menyokong bangunan peradaban tersebut sedang sakit bahkan bisa dibilang cacat. Peradaban tidak hanya membutuhkan kuantitas manusia dalam jumlah besar saja akan tetapi kualitas manusia merupakan faktor penting penentu kokohnya pilar tadi.
Penjajah utama yang belum bisa diusir Indonesia dari dulu adalah kebodohan. Kebodohan tersebut terus menerus menyerang manusia Indonesia, akses informasi tak terbatas membuat masyarakat kita kelebihan informasi. Dan ternyata, kelebihan informasi yang diterima masyarakat tersebut bukanlah informasi yang membangkitkan semangat keoptimisan untuk bangkit akan tetapi justru informasi negatif yang membuat masyarakat pesimis bahwasanya masih adakah cahaya untuk negeri ini.
Kelebihan informasi tentang caruk-maruk Indonesia yang disajikan secara kontinyu lama kelamaan menimbulkan sebuah penyakit masyarakat yaitu “Penyakit Imun” atau Kebal Negatif, yaitu penyakit melemahnya sensitivitas masyarakat atas berbagai kejahatan. Masyarakat sudah tidak terlalu peduli lagi jika ada kasus korupsi senilai ratusan juta rupiah karena sudah terlalu biasa melihat kasus dengan level demikian bahkan lebih tinggi.
Mayoritas umat muslim Indonesia pun demikian, karena sudah terlalu banyak pencitraan negatif seputar Islam maka ketika ada isu yang menghina agama mereka sendiri, mereka tidak berpikir bagaimana cara meng-counter dan meluruskan isu tersebut akan tetapi lebih memilih diam dan apatis atau bahkan tidak sedikit juga yang malah pro dengan isu negatif tersebut.
Ya, itu semua berawal dari kebodohan yang terstruktur dan berkelanjutan sehingga menjadi penyakit imun di dalam tubuh masyarakat kita. Penyakit Imun ini jika tidak segera ditangani akan menular kepada generasi-generasi selanjutnya yang pada akhirnya akan timbul juga kebodohan yang tak berkesudahan, begitulah rantai penjajahan mayarakat kita hari ini.
Menjadi hal yang cukup menarik ketika membahas bagaimana cara menyelamatkan peradaban yang sudah diwariskan oleh Rasulullah SAW, dengan permasalahan rantai penjajahan masyarakat diatas. Barangkali solusi praktisnya adalah “putus saja rantainya”, dengan cara obati penyakit imunnya.
Pengobatan terhadap penyakit imun memang bukanlah hal yang instant untuk dilakukan karena penyakit imun menyerang hati dan pikiran manusia. Penyakit imun ini mampu menimbulkan efek distrust kepada para pemimpin negeri ini dan lebih parah lagi akan membuat disorientasi pada masyarakat kita. Dua efek ini jika tidak segera diantisipasi akan menjadi bom waktu yang bisa menghancurkan peradaban bangsa dan umat ini.
Oleh karena itu jika kita ingin menjinakkan bom waktu tersebut, kita harus segera melakukan terapi terhadap penyakit imun ini. Saat ini ada 2 obat yang kita butuhkan untuk mengobati penyakit ini, yakni strong leadership dan penguasaan media. Strong leadership disini memiliki artian Kepemimpinan yang berani dan berintegritas, menegakkan yang haq dan memberantas yang batil.
Tidak mungkin masyarakat menerima informasi negatif tanpa ada sumbernya, yaitu negative’s subject yang dalam konteks ini mereka melihat tokoh dan pemimpin mereka melakukan tindakan amoral. Eksekutif kita yang dihegemoni oleh KKN dengan birokrasi yang tidak efisien, legislatif yang disinyalir sangat korup juga yudikatif yang memperlihatkan bagaimana pengadil-pengadil kita digelandang ke pengadilan karena berbagai kasus.
Semua hal itu harus segera ditangani oleh kepemimpinan yang berani, kuat, adil dan berintegritas. Siapakah pemimpin yang memiliki jiwa seperti itu? Tentunya negeri ini tidak akan menjumpai lagi orang-orang secapable Abu Bakar, Umar, Ali, Utsman ataupun Umar Bin Abdul Aziz. Mereka ialah orang-orang yang memiliki visi dan orientasi akhirat, sehingga mereka menganggap dunia hanyalah tempat bersinggah sementara dan dan tidaklah menarik bagi mereka segala isi dunia beserta perhiasannya.
Tantangan kita untuk mengobati penyakit ini adalah bangsa kita harus segera mencari dan mencetak pemimpin-pemimpin yang memiliki orientasi akhirat tersebut. Umat ini akan melahirkan pemimpin-peminpin berorientasi akhirat apabila sadar dan memahami betul akan ideologi mereka yaitu ideologi yang benar-benar berasal dari Penciptanya yaitu Sang Maha Benar dan Maha Agung, yang bersifat universal dan integral, bukan ideologi yang dibuat menggunakan akal logika manusia yang sifatnya relatif dan tentatif.
Pemimpin yang memiliki ideologi tersebut nantinya dituntut untuk menularkan nilai-nilai positif sehingga mampu memberikan keteladanan di masyarakat. Melalui keteladanan itulah, semangat keoptimisan masyarakat bisa kembali dibentuk sehingga semua orang akan bahu-membahu bekerja untuk memperbaiki dan menyolusikan jutaan permasalahan di negeri ini.
Pengobatan kedua adalah penguasaan sosial media, seperti kita ketahui bersama bahwa saat ini masyarakat hidup dalam era dimana kondisi arus informasi yang berlebih. Setiap orang bisa mengonsumsi segala bentuk informasi dari segala bentuk media kapan saja dan dimana saja.
Fakta sosiologis inilah yang membuat Yahudi mati-matian berjuang untuk menguasai media, karena mereka percaya bahwa “orang yang menguasai dunia adalah orang yang menguasai media”. Karena media adalah stimulus bagi opini publik, pembangkit simpati di satu sisi dan amarah di sisi lain.
Media juga merupakan sarana terbaik untuk menyukseskan program “Mind Control” yang mereka yakini sebagai strategi paling ampuh mengendalikan manusia untuk kepentingan mereka menguasai dunia. Saat ini kita bisa melihat fakta bagaimana Yahudi bisa mengendalikan segala informasi yang ada di dunia.
Begitu juga di negeri kita, masyarakat bisa sangat mudah terpengaruh akan segala bentuk opini di media yang belum tentu kebenarannya. Yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar, itulah kondisi riil media kita saat ini dimana terdapat banyak sekali kepentingan didalamnya.
Boleh jadi sehebat apapun kapabilitas pemimpin di negeri ini jika tidak mampu mengendalikan media maka akan tetap dicitrakan negatif karena kontra kepentingan. Ironisnya, saat ini umat Islam belum memiliki media yang lebih ampuh untuk menandingi pembentukan opini publik yang dilakukan oleh media yang tidak berpihak pada Islam.
Bagaimanapun, umat Islam saat ini harus mulai berpikir bagaimana media Islam yang dimiliki bisa dioptimalkan sebagai garda terdepan untuk memperbaiki stigma negatif yang dialamatkan kepada Islam, media Islam juga harus mampu menjernihkan stigma negatif tersebut sehingga nilai-nilai keislaman yang agung dapat ditransformasikan secara benar dan reputasi citra Islam dapat diperbaiki. Senjata umat Islam saat ini bukan lagi pedang dan panah, tetapi opini, media dan kecerdasan.
Apabila umat Islam sudah mampu untuk menguasai media, maka opini dan semangat keteladanan yang timbul dari “Strong Leadership” yang dimiliki pemimpin kita akan sangat mudah ditularkan kepada mayarakat sehingga akan timbul perasaan saling percaya antara pemimpin dengan masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan lebih mudah untuk diarahakan secara komunal untuk mengerjakan proyek-proyek kebaikan.
Strong Leadership yang berasal dari pemimpin berorientasi akhirat serta penguasaan sosial media, Dua terapi inilah yang saat ini harus segera dilakukan oleh Umat Islam sehingga lama-kelamaan “penyakit imun” yang sudah menjadi penyakit masyarakat dapat terobati, kemudian menjelma menjadi semangat keoptimisan umat untuk kembali menyelamatkan peradaban yang sudah diwariskan oleh Rasulullah SAW.
Apabila peradaban ini sudah berhasil kita selamatkan, maka yakinlah bahwasanya kemenangan nyata yang sudah dijanjikan Allah dalam Surat Al Fath:1 pasti akan segera datang. Allahu Akbar!!!
Ardian Fajar Prastyawan, Mahasiswa Teknik Sipil ITB
0 komentar:
Posting Komentar